A.
Pengertian Ilmu
Ilmu
merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima ya’lamu yang
berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa Inggris Ilmu biasanya dipadankan
dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa
Indonesia kata science umumnya diartikan ilmu tapi sering juga diartikan dengan
ilmu pengetahuan. Pengertian Ilmu (science) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: “Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.”
Berbicara
mengenai ilmu dalam perspektif Islam, berbeda dengan syariat lain atau
undang-undang dan peraturan buatan manusia. Pembahasan tentang ilmu menurut
kaca mata Islam harus menyertakan tiga hal penting yaitu:
1)
Ilmu
Islam
sangat memperhatikan, menghormati dan menjunjung tinggi martabat ilmu dan orang
yang memiliki ilmu. Ilmu yang benar adalah ilmu yang dirasakan manfaatnya oleh
manusia pada umumnya (baca bermakna untuk kemaslahatan manusia lain).
Sebagaimana dikatakan oleh DR. Hasan al Syarqawi dalam bukunya Manhaj Ilmiah Islami, “Ilmu juga dapat
menjadi cahaya yang dapat menerangi jalan dalam mencapai petunjuk dan
kebaikan.” Tujuan utama bagi penuntut ilmu adalah mengambil manfaat ilmunya
guna melayani dan menjadi rujukan bagi manusia dalam melaksanakan kebajikan.
Bila tujuan tersebut tidak menjadi perioritas utama dalam proses pencarian
ilmu, maka ia telah melakukan kekeliruan dalam memasang niatnya. Dengan
demikian, ilmu yang haq adalah ilmu yang membawa manfaat bagi pemiliknya dan
orang di sekitarnya. Terlebih lagi dapat mendekatkan diri pemiliknya kepada
Allah Subhanahu wa ta’ala, Tuhan bagi seluruh umat manusia.
2)
Orang Yang Berilmu
Islam
telah mengangkat derajat para ‘ulama (Orang-orang yang berilmu) dalam kedudukan
yang amat tinggi dan mulia, karena mereka adalah penerus dan pengemban amanah
para rasul Allah, selama mereka tidak menggauli para penguasa serta tidak
menjadikan tujuan hidupnya untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Dalam
pandangan Islam, ‘alim ialah orang
yang memiliki ilmu dan mau mengamalkan ilmunya. Bisa dikatakan, kalau orang
yang banyak menguasai ilmu tetapi tidak mau mengamalkannya ilmunya untuk
kebajikan dan kemaslahatan hidup umat manusia, belum bisa disebut ‘alim. Dengan alasan karena ilmunya
belum bermanfaat untuk kebajikan dan kesejahteraan diri dan masyarakat luas.
Dan orang yang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk merusak ketentraman
dunia, meruntuhkan keluhuran budi pekerti, menganiaya orang lain, memerintahkan
perbuatan mungkar, mencegah amar ma’ruf, atau menyeru kepada perbuatan
menyekutukan Tuhan (syirik), membujuk orang lain untuk berbuat kekerasan atas
nama apapun, memalingkan diri dari Allah SWT, dan lainnya pada hakikatnya tidak
bisa dikatakan orang yang berilmu. Bahkan Islam menggolongkannya sebagai orang
yang jahil (bodoh) yang suka merusak (berbuat fasik). Jadi orang yang ‘alim hakikatnya adalah mereka yang
selalu memberikan manfaat atau faedah bagi manusia lainnya.
3)
Penuntut Ilmu
Menurut
pandangan Islam, penuntut ilmu adalah orang yang selalu berpihak kepada
kebenaran, menebarkan kebajikan, mendamaikan kedua belah pihak yang bersiteru,
melakukan kreasi-kreasi baru untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama dan
selalu menegakkan keadilan untuk umat manusia di atas muka bumi.
B.
Kedudukan
Ilmu Menurut Islam
Ilmu
menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam, hal ini terlihat
dari banyaknya ayat Al qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang
tinggi dan mulia di samping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi
umatnya untuk terus menuntut ilmu. Di dalam Al qur’an, kata ilmu ini bermakna
bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Al qur’an sangat kental dengan
nuansa-nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting
dari agama.
Kedudukan ilmu dalam Islam yakni posisi
ilmu dalam Islam sangatlah sentral. Vitalitas dan keutamaan ilmu terungkap
dalam sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuan, tersirat
dalam wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah saw. yang menjadi kunci ilmu,
yakni perintah “membaca”. Tercermin dalam ajakan untuk bertakwa hanya kepada
orang yang berakal, tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu (kebodohan)
akan menyesatkan, serta dengan tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib
dan berlaku seumur hidup. Di dalam al Qur’an terdapat puluhan ayat yang
menerangkan tentang ilmu, tentang ajakan untuk berfikir dan melakukan penalaran
( mengamati, memperhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama), serta
sanjungan kepada orang-orang yang suka menggunakan akal fikirannya (ilmuan)
adalah bukti otentik yang tak dapat diragukan lagi akan sangat pentingnya
kedudukan ilmu dalam pandangan Islam.
Imam Ali karramallahu wajhah berkata,
Ilmu adalah kehidupan Islam dan pilar agama. Dan mencari ilmu adalah
wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan. Dengan ilmu Tuhan
ditaati, dengan ilmu silaturahmi dihubungkan, dengan ilmu yang halal dan haram
diketahui. Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikut ilmu, ilmu
adalah penghidup yang mati. Dalam kaitannya dengan Imam Ali kw. Al Qur’an
menganggap ilmu sebagai kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan merupakan
kematian dan kegelapan. Seperti diketahui, semua bentuk kejahatan disebabkan
oleh ketiadaan kehidupan dan cahaya, dan semua kebaikan disebabkan oleh cahaya
dan kehidupan. Karena cahaya akan membuka hakikat-hakikat segala sesuatu. Di
sinilah kedudukan ilmu menjadi hal yang sangat penting dalam rangka mengajak
manusia untuk membedakan mana yang baik dan buruk dalam kehidupannya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman
dalam Al qur’an surat Al Mujadalah ayat 11 yang artinya: “Allah meninggikan
beberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang beriman diantara kamu dan
orang-orang yang berilmu (diberi ilmu pengetahuan) dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan
memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi
pendorong untuk menuntut ilmu, dan ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat
dia sadar betapa kecilnya manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa
kepada Allah bila melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini sejalan dengan
firman Allah dalam surat Faatir ayat
28: “Sesungguhnya yang takut
kepada allah diantara hamba-hambanya hanyalah ulama (orang berilmu).”
Al
qur’an mendorong umat Islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu, seperti tercantum
dalam Al qur’an surat Thaha ayat 114 yang artinya: “Dan katakanlah, tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan.”
Dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah ilmu,
menjadi sangat penting, dan Islam telah sejak awal menekankan pentingnya
membaca, sebagaimana terlihat dari firman Allah yang pertama diturunkan yaitu
surat Al Alaq ayat 1sampai dengan ayat 5 yang artinya: “Bacalah dengan meyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan kamu dari segummpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara
kala. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.”
Ayat-ayat tersebut, jelas merupakan sumber motivasi bagi umat Islam untuk tidak
pernah berhenti menuntut ilmu, untuk terus membaca, sehingga posisi yang tinggi
dihadapan Allah akan tetap terjaga, yang berarti juga rasa takut kepada Allah
akan menjiwai seluruh aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal saleh,
dengan demikian nampak bahwa keimanan yang disertai dengan ilmu akan membuahkan
amal.
Di
samping ayat-ayat Al qur’an, banyak juga hadis yang memberikan dorongan kuat untuk
menuntut ilmu antara lain hadis berikut yang dikutip dari kitab Jaami’u Ashogir
(Jalaludin-Asuyuti, t. t :44 ): “Carilah
ilmu walau sampai ke negri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib
bagi setiap muslim (Hadis Riwayat Baihaqi).” dan juga “Carilah ilmu walau sampai ke negeri cina,
karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. sesungguhnya
Malaikat akan meletakkan sayapnya bagi penuntut ilmu karena rela atas apa yang
dia tuntut (Hadist Riwayat Ibnu Abdil Bar).” Dari hadist tersebut,
semakin jelas komitmen ajaran Islam pada ilmu, di mana menuntut ilmu menduduki
posisi fardhu (wajib) bagi umat Islam tanpa mengenal batas wilayah.
C.
Klasifikasi
Ilmu Menurut Ulama Islam
Dengan
melihat uraian sebelumnya, nampak jelas bagaimana kedudukan ilmu dalam ajaran
Islam. Al qur’an telah mengajarkan bahwa ilmu dan para ulama menempati
kedudukan yang sangat terhormat, sementara hadis nabi menunjukkan bahwa
menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim.
Para
ulama melakukan pengelompokan (klasifikasi) ilmu menurut sudut pandang
masing-masing, meskipun prinsip dasarnya sama, bahwa menuntut ilmu wajib bagi
setiap muslim. Syech Zarnuji dalam kitab Ta’liimu Al Muta‘alim (t. t. :4)
ketika menjelaskan hadis bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim
menyatakan : “Ketahuilah bahwa
sesungguhya tidak wajib bagi setiap muslim dan muslimah menuntut segala ilmu, tetapi
yang diwajibkan adalah menuntut ilmu perbuatan (‘Ilmu Al hal) sebagaimana
diungkapkan, sebaik-baik ilmu adalah ilmu perbuatan dan sebagus-bagus amal
adalah menjaga perbuatan.”
Kewajiban
manusia adalah beribadah kepada Allah, maka wajib bagi manusia (Muslim dan Muslimah)
untuk menuntut ilmu yang terkaitkan dengan tata cara tersebut, seperti
kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji, yang mengakibatkan wajibnya menuntut
ilmu tentang hal-hal tersebut. Demikianlah nampaknya semangat pernyataan Syech
Zarnuji, akan tetapi sangat disayangkan bahwa beliau tidak menjelaskan tentang
ilmu-ilmu selain “Ilmu Hal” tersebut
lebih jauh di dalam kitabnya.
Sementara
itu Al Ghazali di dalam Kitabnya Ihya
Ulumudin mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu
1) Ilmu Fardu a’in, yaitu ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib,
maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia
sudah mengetahui ilmu fardu a’in. Ilmu Fardu a’in juga merupakan ilmu
agama dengan segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam,
sementara itu termasuk dalam ilmu (yang menuntutnya).
2) Ilmu Fardu Kifayah, yaitu tiap-tiap ilmu yang tidak dapat
dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi. Ilmu Fardu Kifayah seperti ilmu
kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu politik,
bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang dapat membantu dan
penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.
Adapun
klasifikasi ilmu yang lain dikemukakan oleh Ibnu Khaldun yang membagi kelompok ilmu ke dalam dua kelompok
yaitu :
1)
Ilmu yang merupakan suatu yang alami pada manusia,
yang ia bisa menemukannya karena kegiatan berpikir. Ilmu ini mencakup ilmu-ilmu dalam
spektrum luas sepanjang hal itu diperoleh melalui kegiatan berpikir seperti ilmu-ilmu hikmmah dan falsafah. Yaitu ilmu
pengetahuan yang bisa didapat manusia karena alam berpikirnya, yang dengan
indera-indera kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek-objeknya,
persoalannya, segi-segi demonstrasinya dan aspek-aspek pengajarannya, sehingga
penelitian dan penyelidikannya itu menyampaikan kepada mana yang benar dan yang
salah, sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia berpikir.
2)
Ilmu
yang bersifat tradisional (naqli). Imu ini seperti ilmu-ilmu tradisional (naqli
dan wadl’i). Ilmu ini secara keseluruhannya disandarkan kepada berita dari
pembuat konvensi syara dan merujuk pada ilmu yang bersumber kepada
ajaran-ajaran syariat dari al qur’an dan sunnah Rasul.[1]
Pengelompokan
tersebut, dapat disederhanakan lagi menjadi:
1)
Ilmu
aqliyah
2)
Ilmu
naqliyah
Ulama
lain yang juga membuat klasifikasi ilmu adalah Syah Waliyullah, beliau adalah
ulama kelahiran India tahun 1703 M. Menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi ke
dalam tiga kelompok yaitu:
1)
Al manqulat adalah semua ilmu-ilmu agama yang
disimpulkan dari atau mengacu kepada tafsir, ushul al tafsir, hadis dan al
hadis.
2)
Al ma’qulat adalah semua ilmu dimana akal pikiran
memegang peranan penting.
3)
Al maksyufat adalah ilmu yang diterima langsung
dari sumber Ilahi tanpa keterlibatan indera, maupun pikiran spekulatif.
Syah
Waliyullah juga membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kelompok yaitu:
1)
Ilmu
al husuli, yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat indrawi, empiris, konseptual,
formatif aposteriori
2)
Ilmu
al huduri, yaitu ilmu pengetahuan yang suci dan abstrak yang muncul dari esensi
jiwa yang rasional akibat adanya kontak langsung dengan realitas ilahi.
D.
Konsep Ajaran Islam Mengenai Ilmu
Menurut Syamsul Arifin konsep ajaran
Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan didasarkan pada beberapa prinsip
sebagai berikut:
1.
Ilmu
pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid atau teologi. Yakni
teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya Tuhan dalam hati, mengucapkannya
dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teologi yang
menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya. Lebih
tegasnya adalah teologi yang memunculkan kesadaran, yakni suatu matra yang
paling dalam, pada diri manusia yang menformat pandangan dunianya, yang
kemudian menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia
itu. Karena itu teologi pada ujungnya akan mempunyai implikasi yang sangat
sosiologis, sekaligus antropologis.
2.
Ilmu
pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan
beribadah kepada Allah swt. Hal ini penting ditegaskan, karena dorongan
al-Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang
diperhatikan, sebagai akibat dan dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk
memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah
mengabdi kepada Allah swt dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan iptek.
3.
Ilmu
pengetahuan harus dikembangkan oleh orang-orang Islam yang memiliki
keseimbangan antara kecerdasan akal, kecerdasan emosional dan spiritual yang
dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah swt dalam arti yang
seluas-luasnya. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah di abad
klasik, di mana para ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan adalah
pribadi-pribadi yang senantiasa taat beribadah kepada Allah swt.
4.
Ilmu
pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integral, yakni bahwa antara
ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formalnya berbeda-beda, namun
hakikatnya sama, yakni sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah swt. Dengan
pandangan yang demikian itu, maka tidak ada lagi perasaan yang lebih unggul
antara satu dan lainnya. Dengan menerapkan keempat macam strategi pengembangan
ilmu pengetahuan tersebut, maka akan dapat diperoleh keuntungan yang berguna
untuk mengatasi problem kehidupan masyarakat modern sebagaimana tersebut di
atas.
Sedangkan menurut M. Shiddiq al-Jawi
(2007) peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada dua hal yaitu:
1.
Menjadikan
aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang
seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa aqidah Islam wajib dijadikan
landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan.
Ini bukan berarti menjadi aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
2.
Menjadikan
syariah Islam (yang lahir dari aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan
iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya
yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme)
seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya
pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah
Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh syariah
Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh syariah, maka
tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walaupun ia menghasilkan manfaat sesaat
untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Heri
Jauhari Muchtar. 2005. Fiqih Pendidikan.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Dwi Suheriyanto. 2004. Memadu Sains dan Agama: Menuju Universitas Islam Masa Depan. Malang: Bayumedia dan UIN-Malang Press.
Said Aqil Husin al-Munawar. 2004. Al-Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press.
Harun Nasution. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI Press.
Syamsul Arifin dkk. 1996. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Jakarta: SI Press.
M. Shiddiq al-Jawi. 2007. Peran Islam dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. http://www.majelismujahidin.com, diakses 21 Januari 2007.
Dwi Suheriyanto. 2004. Memadu Sains dan Agama: Menuju Universitas Islam Masa Depan. Malang: Bayumedia dan UIN-Malang Press.
Said Aqil Husin al-Munawar. 2004. Al-Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press.
Harun Nasution. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI Press.
Syamsul Arifin dkk. 1996. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Jakarta: SI Press.
M. Shiddiq al-Jawi. 2007. Peran Islam dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. http://www.majelismujahidin.com, diakses 21 Januari 2007.
[1]
“Sifat, Sumber, Definisi dan
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut Syah Waliyullah” (Al Hikmah, No. 11,
1993).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar