Senin, 20 Mei 2013

Pengertian Ilmu Pengetahuan

A.                Pengertian Ilmu
         Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa Inggris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan ilmu tapi sering juga diartikan dengan ilmu pengetahuan. Pengertian Ilmu (science) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: “Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.”
Berbicara mengenai ilmu dalam perspektif Islam, berbeda dengan syariat lain atau undang-undang dan peraturan buatan manusia. Pembahasan tentang ilmu menurut kaca mata Islam harus menyertakan tiga hal penting yaitu:
1)             Ilmu
Islam sangat memperhatikan, menghormati dan menjunjung tinggi martabat ilmu dan orang yang memiliki ilmu. Ilmu yang benar adalah ilmu yang dirasakan manfaatnya oleh manusia pada umumnya (baca bermakna untuk kemaslahatan manusia lain). Sebagaimana dikatakan oleh DR. Hasan al Syarqawi dalam bukunya Manhaj Ilmiah Islami, “Ilmu juga dapat menjadi cahaya yang dapat menerangi jalan dalam mencapai petunjuk dan kebaikan.” Tujuan utama bagi penuntut ilmu adalah mengambil manfaat ilmunya guna melayani dan menjadi rujukan bagi manusia dalam melaksanakan kebajikan. Bila tujuan tersebut tidak menjadi perioritas utama dalam proses pencarian ilmu, maka ia telah melakukan kekeliruan dalam memasang niatnya. Dengan demikian, ilmu yang haq adalah ilmu yang membawa manfaat bagi pemiliknya dan orang di sekitarnya. Terlebih lagi dapat mendekatkan diri pemiliknya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, Tuhan bagi seluruh umat manusia.

2)              Orang Yang Berilmu
Islam telah mengangkat derajat para ‘ulama (Orang-orang yang berilmu) dalam kedudukan yang amat tinggi dan mulia, karena mereka adalah penerus dan pengemban amanah para rasul Allah, selama mereka tidak menggauli para penguasa serta tidak menjadikan tujuan hidupnya untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Dalam pandangan Islam, ‘alim ialah orang yang memiliki ilmu dan mau mengamalkan ilmunya. Bisa dikatakan, kalau orang yang banyak menguasai ilmu tetapi tidak mau mengamalkannya ilmunya untuk kebajikan dan kemaslahatan hidup umat manusia, belum bisa disebut ‘alim. Dengan alasan karena ilmunya belum bermanfaat untuk kebajikan dan kesejahteraan diri dan masyarakat luas. Dan orang yang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk merusak ketentraman dunia, meruntuhkan keluhuran budi pekerti, menganiaya orang lain, memerintahkan perbuatan mungkar, mencegah amar ma’ruf, atau menyeru kepada perbuatan menyekutukan Tuhan (syirik), membujuk orang lain untuk berbuat kekerasan atas nama apapun, memalingkan diri dari Allah SWT, dan lainnya pada hakikatnya tidak bisa dikatakan orang yang berilmu. Bahkan Islam menggolongkannya sebagai orang yang jahil (bodoh) yang suka merusak (berbuat fasik).  Jadi orang yang ‘alim hakikatnya adalah mereka yang selalu memberikan manfaat atau faedah bagi manusia lainnya.

3)             Penuntut Ilmu
Menurut pandangan Islam, penuntut  ilmu adalah orang yang selalu berpihak kepada kebenaran, menebarkan kebajikan, mendamaikan kedua belah pihak yang bersiteru, melakukan kreasi-kreasi baru untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama dan selalu menegakkan keadilan untuk umat manusia di atas muka bumi.
B.                 Kedudukan Ilmu Menurut Islam
         Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam, hal ini terlihat dari banyaknya ayat Al qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia di samping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Di dalam Al qur’an, kata ilmu ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Al qur’an sangat kental dengan nuansa-nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama.
         Kedudukan ilmu dalam Islam yakni posisi ilmu dalam Islam sangatlah sentral. Vitalitas dan keutamaan ilmu terungkap dalam sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuan, tersirat dalam wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah saw. yang menjadi kunci ilmu, yakni perintah “membaca”. Tercermin dalam ajakan untuk bertakwa hanya kepada orang yang berakal, tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu (kebodohan) akan menyesatkan, serta dengan tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan berlaku seumur hidup. Di dalam al Qur’an terdapat puluhan ayat yang menerangkan tentang ilmu, tentang ajakan untuk berfikir dan melakukan penalaran ( mengamati, memperhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama), serta sanjungan kepada orang-orang yang suka menggunakan akal fikirannya (ilmuan) adalah bukti otentik yang tak dapat diragukan lagi akan sangat pentingnya kedudukan ilmu dalam pandangan Islam.
         Imam Ali karramallahu wajhah berkata, Ilmu adalah kehidupan Islam dan pilar agama.  Dan mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan. Dengan ilmu Tuhan ditaati, dengan ilmu silaturahmi dihubungkan, dengan ilmu yang halal dan haram diketahui. Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikut ilmu, ilmu adalah penghidup yang mati. Dalam kaitannya dengan Imam Ali kw. Al Qur’an menganggap ilmu sebagai kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan merupakan kematian dan kegelapan. Seperti diketahui, semua bentuk kejahatan disebabkan oleh ketiadaan kehidupan dan cahaya, dan semua kebaikan disebabkan oleh cahaya dan kehidupan. Karena cahaya akan membuka hakikat-hakikat segala sesuatu. Di sinilah kedudukan ilmu menjadi hal yang sangat penting dalam rangka mengajak manusia untuk membedakan mana yang baik dan buruk dalam kehidupannya.
         Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al qur’an surat Al Mujadalah ayat 11 yang artinya: “Allah meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmu pengetahuan) dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong untuk menuntut ilmu, dan ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa kecilnya manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa kepada Allah bila melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Faatir ayat 28: “Sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba-hambanya hanyalah ulama (orang berilmu).”
         Al qur’an mendorong umat Islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu, seperti tercantum dalam Al qur’an surat Thaha ayat 114 yang artinya: “Dan katakanlah, tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan.” Dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah ilmu, menjadi sangat penting, dan Islam telah sejak awal menekankan pentingnya membaca, sebagaimana terlihat dari firman Allah yang pertama diturunkan yaitu surat Al Alaq ayat 1sampai dengan ayat 5 yang artinya: “Bacalah dengan meyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan kamu dari segummpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kala. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.” Ayat-ayat tersebut, jelas merupakan sumber motivasi bagi umat Islam untuk tidak pernah berhenti menuntut ilmu, untuk terus membaca, sehingga posisi yang tinggi dihadapan Allah akan tetap terjaga, yang berarti juga rasa takut kepada Allah akan menjiwai seluruh aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal saleh, dengan demikian nampak bahwa keimanan yang disertai dengan ilmu akan membuahkan amal.
         Di samping ayat-ayat Al qur’an, banyak juga hadis yang memberikan dorongan kuat untuk menuntut ilmu antara lain hadis berikut yang dikutip dari kitab Jaami’u Ashogir (Jalaludin-Asuyuti, t. t :44 ): “Carilah ilmu walau sampai ke negri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (Hadis Riwayat Baihaqi).” dan juga “Carilah ilmu walau sampai ke negeri cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya bagi penuntut ilmu karena rela atas apa yang dia tuntut (Hadist Riwayat Ibnu Abdil Bar).” Dari hadist tersebut, semakin jelas komitmen ajaran Islam pada ilmu, di mana menuntut ilmu menduduki posisi fardhu (wajib) bagi umat Islam tanpa mengenal batas wilayah.
C.                 Klasifikasi Ilmu Menurut Ulama Islam
         Dengan melihat uraian sebelumnya, nampak jelas bagaimana kedudukan ilmu dalam ajaran Islam. Al qur’an telah mengajarkan bahwa ilmu dan para ulama menempati kedudukan yang sangat terhormat, sementara hadis nabi menunjukkan bahwa menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim.
         Para ulama melakukan pengelompokan (klasifikasi) ilmu menurut sudut pandang masing-masing, meskipun prinsip dasarnya sama, bahwa menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Syech Zarnuji dalam kitab Ta’liimu Al Muta‘alim (t. t. :4) ketika menjelaskan hadis bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim menyatakan : “Ketahuilah bahwa sesungguhya tidak wajib bagi setiap muslim dan muslimah menuntut segala ilmu, tetapi yang diwajibkan adalah menuntut ilmu perbuatan (‘Ilmu Al hal) sebagaimana diungkapkan, sebaik-baik ilmu adalah ilmu perbuatan dan sebagus-bagus amal adalah menjaga perbuatan.”
         Kewajiban manusia adalah beribadah kepada Allah, maka wajib bagi manusia (Muslim dan Muslimah) untuk menuntut ilmu yang terkaitkan dengan tata cara tersebut, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji, yang mengakibatkan wajibnya menuntut ilmu tentang hal-hal tersebut. Demikianlah nampaknya semangat pernyataan Syech Zarnuji, akan tetapi sangat disayangkan bahwa beliau tidak menjelaskan tentang ilmu-ilmu selain “Ilmu Hal” tersebut lebih jauh di dalam kitabnya.
         Sementara itu Al Ghazali di dalam Kitabnya Ihya Ulumudin mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu
1) Ilmu Fardu a’in, yaitu ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib, maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu fardu a’in. Ilmu Fardu a’in juga merupakan ilmu agama dengan segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam, sementara itu termasuk dalam ilmu (yang menuntutnya).
2)  Ilmu Fardu Kifayah, yaitu tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi. Ilmu Fardu Kifayah seperti ilmu kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang dapat membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.
         Adapun klasifikasi ilmu yang lain dikemukakan oleh Ibnu Khaldun yang membagi kelompok ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :
1)                  Ilmu yang merupakan suatu yang alami pada manusia, yang ia bisa menemukannya karena kegiatan berpikir. Ilmu ini mencakup ilmu-ilmu dalam spektrum luas sepanjang hal itu diperoleh melalui kegiatan berpikir seperti ilmu-ilmu hikmmah dan falsafah. Yaitu ilmu pengetahuan yang bisa didapat manusia karena alam berpikirnya, yang dengan indera-indera kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek-objeknya, persoalannya, segi-segi demonstrasinya dan aspek-aspek pengajarannya, sehingga penelitian dan penyelidikannya itu menyampaikan kepada mana yang benar dan yang salah, sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia berpikir.
2)                   Ilmu yang bersifat tradisional (naqli). Imu ini seperti ilmu-ilmu tradisional (naqli dan wadl’i). Ilmu ini secara keseluruhannya disandarkan kepada berita dari pembuat konvensi syara dan merujuk pada ilmu yang bersumber kepada ajaran-ajaran syariat dari al qur’an dan sunnah Rasul.[1]
      Pengelompokan tersebut, dapat disederhanakan lagi menjadi:
1)                  Ilmu aqliyah
2)                  Ilmu naqliyah
         Ulama lain yang juga membuat klasifikasi ilmu adalah Syah Waliyullah, beliau adalah ulama kelahiran India tahun 1703 M. Menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu:
1)                  Al manqulat adalah semua ilmu-ilmu agama yang disimpulkan dari atau mengacu kepada tafsir, ushul al tafsir, hadis dan al hadis.
2)                  Al ma’qulat adalah semua ilmu dimana akal pikiran memegang peranan penting.
3)                  Al maksyufat adalah ilmu yang diterima langsung dari sumber Ilahi tanpa keterlibatan indera, maupun pikiran spekulatif.
         Syah Waliyullah juga membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kelompok yaitu:
1)                  Ilmu al husuli, yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat indrawi, empiris, konseptual, formatif aposteriori
2)                  Ilmu al huduri, yaitu ilmu pengetahuan yang suci dan abstrak yang muncul dari esensi jiwa yang rasional akibat adanya kontak langsung dengan realitas ilahi.




D.                Konsep Ajaran Islam Mengenai Ilmu
Menurut Syamsul Arifin konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan didasarkan pada beberapa prinsip sebagai berikut:
1.                  Ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid atau teologi. Yakni teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya Tuhan dalam hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya. Lebih tegasnya adalah teologi yang memunculkan kesadaran, yakni suatu matra yang paling dalam, pada diri manusia yang menformat pandangan dunianya, yang kemudian menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia itu. Karena itu teologi pada ujungnya akan mempunyai implikasi yang sangat sosiologis, sekaligus antropologis.
2.                  Ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan beribadah kepada Allah swt. Hal ini penting ditegaskan, karena dorongan al-Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kepada Allah swt dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan iptek.
3.                  Ilmu pengetahuan harus dikembangkan oleh orang-orang Islam yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan akal, kecerdasan emosional dan spiritual yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah swt dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah di abad klasik, di mana para ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan adalah pribadi-pribadi yang senantiasa taat beribadah kepada Allah swt.
4.                  Ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integral, yakni bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formalnya berbeda-beda, namun hakikatnya sama, yakni sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah swt. Dengan pandangan yang demikian itu, maka tidak ada lagi perasaan yang lebih unggul antara satu dan lainnya. Dengan menerapkan keempat macam strategi pengembangan ilmu pengetahuan tersebut, maka akan dapat diperoleh keuntungan yang berguna untuk mengatasi problem kehidupan masyarakat modern sebagaimana tersebut di atas.
Sedangkan menurut M. Shiddiq al-Jawi (2007) peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada dua hal yaitu:
1.                  Menjadikan aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
2.                  Menjadikan syariah Islam (yang lahir dari aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walaupun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.








Heri Jauhari Muchtar. 2005. Fiqih Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Dwi Suheriyanto. 2004. Memadu Sains dan Agama: Menuju Universitas Islam Masa Depan. Malang: Bayumedia dan UIN-Malang Press.
Said Aqil Husin al-Munawar. 2004. Al-Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press.
Harun Nasution. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI Press.
Syamsul Arifin dkk. 1996. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Jakarta: SI Press.
M. Shiddiq al-Jawi. 2007. Peran Islam dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
http://www.majelismujahidin.com, diakses 21 Januari 2007.




[1] “Sifat, Sumber, Definisi dan Klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut Syah Waliyullah” (Al Hikmah, No. 11, 1993).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar